Pembangunan Kota Bandung yang cepat dan intensif awal abad ke-20 terjadi karena Otonomi Pemerintahan Kota tahun 1906 dan rencana Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kota Bandung sebagai ibu kota serta pusat komando militer.
Untuk maksud tersebut pemerintah memindahkan Departemen Peperangan (Departement van Oorlog) dari Weltevreeden (Jakarta Pusat) ke Bandung dengan membangun Pusat Komando Militer yang oleh masyarakat Sunda disebut Gedong Sabau, karya VL Slors tahun 1913.
Dalam kompleks baru ini dibangun pula Istana Panglima Pasukan yang kini menjadi Markas Kodam III Siliwangi, karya bersama kakak beradik Richard Schoemaker dan Wolff Schoemaker tahun 1918. Rencana pemindahan ibu kota juga didukung pemindahan kantor pusat Jawatan Kereta Api ke Bandung, di bekas gedung Grand National Hotel, Jalan Perintis Kemerdekaan, pada tahun 1916.Untuk maksud tersebut pemerintah memindahkan Departemen Peperangan (Departement van Oorlog) dari Weltevreeden (Jakarta Pusat) ke Bandung dengan membangun Pusat Komando Militer yang oleh masyarakat Sunda disebut Gedong Sabau, karya VL Slors tahun 1913.
Untuk memindahkan departemen dan instansi pemerintah dari Batavia, disediakan tanah seluas 27.000 meter persegi untuk lokasi Gedung Sate dengan arsitek Gerber tahun 1920-1924. Sedangkan untuk menampung karyawan juga direncanakan dibangun sekitar 1.500 rumah.
Dalam rangka mengantisipasi kehidupan kota yang terus meningkat dan perluasan kota yang terus berkembang, pemerintah kota pada tahun 1930 menugaskan kepada Prof Ir Karsten membuat rencana pembangunan dan perluasan kota yang kemudian dikenal sebagai “Karsten Plan”.
Rencana tersebut dituangkan dalam konsep tata ruang kota dengan halte kereta api, pasar, kawasan industri, dan sarana lain, memperlihatkan keseimbangan antara pembangunan kawasan timur dan kawasan barat kota. Sedangkan kawasan utara kota direncanakan untuk perluasan perumahan masyarakat Eropa.
Dengan iklim Bandung yang nyaman seperti di daerah Perancis selatan serta rencana serta pelaksanaan pembangunan kota yang sangat sempurna dan modern, jumlah masyarakat Eropa yang ingin hidup di Bandung tahun 1941 mencapai 30.000 orang.
Pengaruh arsitektur modern
Awal arsitektur modern Kota Bandung banyak yang menampilkan perpaduan antara budaya Timur dan Barat yang oleh sejarawan disebut sebagai arsitektur Indo-Eropa.
Perpaduan tersebut juga terlihat pada karya kelompok arsitek Hindia Belanda NIAK (Nederlands Indie Arsitectuur Krink), seperti Maclaine Pont, CP Wolff Schoemaker, FJL Gheijsels, dan sebagainya.
Arsitektur modern sebelum Perang Dunia I dimulai dengan adanya pengaruh Art Nouveau yang banyak menampilkan keindahan plastisitas alam, dilanjutkan dengan pengaruh Art Deco yang lebih mengekspresikan kekaguman manusia terhadap kemajuan teknologi. Konsep tersebut kemudian dimanifestasikan ke dalam media arsitektur dan seni, serta gaya hidup. Dari hasil penelitian sejarah perkembangan arsitektur modern tersebut, Kota Bandung memperlihatkan kualitas dan kuantitas peninggalan arsitektur modern paling kaya dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.
Arsitektur Art Deco yang berkembang antara dua Perang Dunia memiliki ciri elemen dekoratif geometris yang tegas dan keras, sejalan dengan karya kelompok arsitek Amsterdam School dari Belanda. Karya Wolf Schoemaker yang memiliki pola dekoratif di antaranya adalah Hotel Preanger dengan pola dekoratif yang sering disebut sebagai Geometric Deco.
Dalam dasawarsa keempat, Kota Bandung juga masih banyak meninggalkan karya arsitektur yang semakin modern dan sangat unik. Gaya pertama adalah bangunan berbentuk kubistis dan plastis serta elemen dekoratif garis lurus yang tumbuh dari struktur horizontal dan vertikal beton yang dikenal sebagai Straightline Deco.
Dua karya Brinkman yang memperlihatkan konsep desain serupa adalah Singer Building di Jalan Asia Afrika yang telah dibongkar tahun 1992 dan Vila Han En Khan yang sekarang digunakan oleh kantor Psikologi Angkatan Darat di Jalan Sangkuriang.
Tiga Vila dan Vila Tiga Warna di Jalan H Juanda, serta Hotel Homann karya AF Aalbers tahun 1930-an adalah gaya bangunan yang semakin plastis dan sederhana (minimalis). Sharp Building dan Rumah Potong Hewan di Jalan Arjuna serta Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang juga menampilkan gaya akhir modern yang unik.
Bangunan tersebut kini dalam situasi mengkhawatirkan karena ada yang sudah dijual kepada pengembang dan akan dijadikan mal. Masih sangat banyak bangunan dan lingkungan yang diperkirakan menjadi bahan lirikan pengembang, yaitu gudang kereta api, bekas Pabrik Gas Negara, dan sebagainya.
Menghilangnya bangunan bersejarah
Saat ini masih terdapat berbagai pihak yang kurang memperhatikan aset sejarah budaya dan terus membongkar berbagai bangunan bersejarah di Kota Bandung. Pembongkaran terjadi akibat keinginan menggebu pengembang membangun mal, supermal, supermarket, dan factory outlet, yang juga merupakan salah satu faktor penyebab semakin buruknya tata ruang kota dan menurunnya citra sejarah Kota Bandung.
Hampir seluruh gedung bioskop gaya Art Deco yang sangat unik di Bandung telah musnah, berubah menjadi ruko atau pusat perbelanjaan yang kurang bermutu sehingga menurunkan citra keindahan Kota Bandung. Beberapa contoh yang telah hilang di antaranya adalah Bioskop Oriental yang telah dibongkar tahun 1960-an dan gedung Bioskop Elita yang telah hilang pula pada tahun 1970-an. Begitu pula Preanger Theater, Braga Sky, dan sebagainya, juga sudah tidak tampak lagi. Padahal, seluruh bioskop tadi menjadi lambang keikutsertaan Indonesia dalam percaturan teknik perfilman dunia.
Pembongkaran tanpa izin bangunan bersejarah yang dilakukan pengembang akhir-akhir ini, seperti rumah keluarga Wiranata Kusuma dengan gaya Straightline Deco dan rumah milik Departemen Sosial di Jalan Ciumbuluit yang merupakan satu-satunya contoh Nautical-Deco (Art Deco Kapal) sisa-sisa sejarah pembangunan kawasan Bandung Utara, memperlihatkan contoh rendahnya pengetahuan budaya dan etika pengembang.
Contoh-contoh tersebut merupakan sebagian kecil dari sekian banyak aset sejarah kota yang menjadi bagian dari proses menghilangnya jejak sejarah Bandung. Menghilangnya kekayaan Art Deco di Bandung juga merupakan sebagian dari proses hilangnya benang merah yang menghubungkan sejarah pembangunan budaya masa lalu, masa kini, dengan masa depan yang bermanfaat dan menjadi kebanggaan generasi penerus. Menghilangnya begitu banyak bangunan bersejarah tersebut akan menghilangkan pula akar gaya minimalis yang sedang menjadi tren desain masa kini.
Kesimpulan
Bandung adalah benar-benar kota laboratorium arsitektur yang mulai memerlukan perhatian semua pihak agar citra sejarah pembangunan tetap tampil dengan baik.
Bangunan militer lama masih banyak yang terawat dengan baik, sangat memberi harapan bagi masa depan konservasi arsitektur kota. Revitalisasi yang terencana dengan baik, perlu bagi masa depan citra kota.
Citra Bandung sebagai kota Art Deco perlu dibanggakan dan dipertahankan semua pihak karena dunia banyak mengetahui dan tertarik untuk datang serta melihatnya.
Selain itu, aset negara adalah milik bangsa, menjual-belikan seharusnya tidak dibenarkan. Generasi muda membutuhkan lebih banyak sarana belajar, perpustakaan, pusat mengembangkan kreativitas, inovasi teknologi dan budaya yang lebih baik serta lebih banyak, bukan hanya perlu mal dan ruko. Para pengembang perlu lebih sadar tentang hal ini.
Penulis: Dibyo Hartono (Kepala Bidang Arsitek dan Lingkungan Bandung Heritage, Dosen di Institut Teknologi Bandung)
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini