Sesuatu yang tak lazim digolongkan sebagai kelainan. Begitu juga dalam kancah perilaku seksual. Di seputar kita bisa dijumpai penderita parafilia, pengidap gangguan psikoseksual. Mereka, umumnya laki-laki, menyukai kegiatan seksual tidak lazim mulai dari mengintip, memamerkan alat kelamin, sampai mengenakan pakaian wanita.
Parafilia berasal dari bahasa Yunani: para, yang berarti di luar kebiasaan, dan filia yang berarti cinta.
Sebagian parafilia mirip dengan perilaku yang oleh banyak orang dianggap tidak normal atau mengganggu hubungan personal. Sebagai contohnya: banyak pria terangsang oleh wanita yang mengenakan pakaian dalam hitam. Tetapi penderita parafilia fetishisme hanya terangsang oleh wanita yang mengenakan pakaian dalam warna hitam.
Perilaku ini menjadi masalah jika bersifat kompulsif, sehingga merusak hubungan, kesehatan mental/psikologis seseorang, melanggar hak orang lain, mengancam kesehatan fisik/mentalnya, dan melanggar hukum, seperti pedofilia, yaitu ketertarikan secara seksual dengan anak-anak.
Pada umumnya, parafilia merupakan masalah karena memenuhi kriteria di atas. Dalam istilah psikologis, suatu aktivitas seksual yang tidak lazim didiagnosis sebagai parafilia jika perilaku tersebut kuat, berlangsung sekurangnya enam bulan, dan pelaku merasa harus melakukan dorongannya atau mengalami ketegangan yang berat jika menghindari dorongannya itu.
Parafilia jarang berdiri sendiri dan mungkin merupakan salah satu aspek dan gangguan kejiwaan lain seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian. Parafilia hampir seluruhnya pria, dengan kekecualian masokisme.
Penting diingat, bahwa parafilia adalah perilaku (tindakan), dan bukan fantasi. Memiliki fantasi seksual yang tidak lazim sering ditemukan atau tidak perlu menimbulkan kekuatiran.
Dr. John Money, melalui penelitiannya di Johns Hopkins Hospital, Baltimore, memberi banyak sumbangan dalam pemahaman parafilia. Parafilia yang paling sering ditemukan adalah:
1. Ekshibisionisme
Seseorang mendapatkan kepuasan seksual dengan memamerkan genitalianya sendiri kepada orang asing yang tidak mau melihatnya. Bagi seorang ekshibisionis, kepuasan berasal dari reaksi orang lain, yang secara keliru diduga (oleh si penderita) sebagai ekspresi kepuasan seksual.
Kepuasan seksual diperoleh penderita saat melihat reaksi terperanjat, takut, kagum, jijik, atau menjerit dari orang yang melihatnya. Kemudian hal tersebut digunakan sebagai dasar untuk fantasi masturbasi. Orgasme dicapai dengan melakukan masturbasi pada saat itu juga atau sesaat kemudian.
Para peneliti menyatakan ekshibisionis memiliki pendekatan yang tidak dewasa terhadap seks, dengan kebutuhan yang besar untuk diperhatikan. Ekshibisionisme dan voyeurisme merupakan sebagian besar pelanggaran seksual yang ditangani oleh polisi.
Sebelum beraksi, ia terus merasa gelisah, tercekam, dan tegang. Perasaannya akan terasa lega begitu berhasil memamerkan penisnya pada wanita dewasa atau anak dengan usia dan bentuk tubuh sesuai keinginannya. Pada saat melakukan ia seolah-olah bermimpi, tidak mengetahui keadaan sekitarnya dan tidak menyadari bahaya akan tertangkap. Setelah itu muncul perasaan menyesal dan takut ditangkap. Namun, perasaan ini tidak cukup kuat untuk mencegahnya berbuat ulang pada kesempatan lain.
Dalam banyak kasus tindakan didahului suatu periode di mana ia pergi ke suatu tempat sepi dan menunggu sampai hari agak gelap. Namun, ada pula ekshibisionis yang tidak menghindari suasana ramai sehingga tidak malu-malu melakukan perbuatannya di toko, kamar tunggu praktik dokter, atau jendela rumahnya pada siang bolong. Ada pula yang timbulnya secara impulsif karena perasaan ingin melakukannya timbul seketika, sehingga tanpa pikir panjang ia menuruti dorongan hatinya.
Acap kali seorang ekshibisionis dapat melakukan tindakan pengamanan supaya tidak tertangkap basah saat melakukannya. Ia teliti dulu sebelumnya apakah ada pria lain yang mengamatinya atau menutupi kembali penisnya bila tiba-tiba muncul seseorang yang tidak diinginkan. Ekshibisionis banyak ditemukan pada usia 20-an dan banyak di antaranya mengalami kesulitan ereksi dalam aktivitas seksual lainnya.
2. Voyeurisme
Ciri utama voyeurism (di dunia kedokteran dikenal sebagai skopofilia) adalah adanya dorongan yang tidak terkendali untuk secara diam-diam mengintip atau melihat wanita yang sedang telanjang, melepas pakaian, atau melakukan kegiatan seksual.
Penderita memperoleh kepuasan seksual dari situ. Wanita yang diintip biasanya tak dia kenal. Mengintip menjadi cara eksklusif untuk mendapatkan kepuasan seksual. Anehnya, ia sama sekali tidak menginginkan berhubungan seksual dengan wanita yang diintip. Cuma berharap memperoleh kepuasan orgasme dengan cara masturbasi.
Berbeda dengan pria normal - yang baru mendapatkan kepuasan seksual setelah melakukan persetubuhan (terkadang masturbasi) - penderita voyeurism sudah terpuaskan tanpa harus melakukan sanggama. Namun, penyuka film atau pertunjukan porno jangan takut dikatakan menderita kelainan ini, karena para pemain film itu dengan sengaja menghendaki dan menyadari bahwa mereka akan ditonton orang lain.
Voyeurism sejati tidak terangsang jika melihat wanita yang tidak berpakaian di hadapannya. Mereka hanya terangsang jika mengintipnya. Dengan mengintip mereka mampu mempertahankan keunggulan seksual tanpa perlu mengalami risiko kegagalan atau penolakan dari pasangan yang nyata.
3. Frotteurisme
Menggosokkan badan atau memeluk orang lain yang tidak mau.
4. Pedofilia
Orang dewasa, terutama pria, yang mencari kontak fisik dan seksual dengan anak-anak prapubertas yang tidak mau berhubungan dengan mereka.
Sekitar dua pertiga korban kelainan ini adalah anak-anak berusia 8 - 11 tahun. Kebanyakan paedofilia menjangkiti pria, namun ada pula kasus wanita berhubungan seks secara berulang dengan anak-anak. Banyak kaum paedofil mengenali korbannya, misalnya saudara, tetangga, atau kenalan. Kaum paedofil dikategorikan dalam tiga golongan yakni di atas 50 tahun, 20-an hingga 30 tahun, dan para remaja. Sebagian besar mereka adalah para heteroseksual dan banyak juga para ayah.
5. Sadomasokisme
Sadisme seksual dan masokisme. Sadisme -mengambil nama dari Marquis de Sade (1740-1814) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kenikmatan atau rangsangan seksual yang diperoleh dengan menimbulkan nyeri atau menyiksa pasangannya.
Masokisme -nama pengarang terkenal lain tentang eksploitasi seksual, Leopold von Sacher-Masoch (1836-1895) menggambarkan keinginan untuk mendapatkan nyeri dan kenikmatan seksual dari siksaan atau hinaan (secara fisik atau verbal).
Penderita sadistik mendapatkan kepuasan seksual dari menimbulkan rasa sakit dan/atau hinaan, sedangkan masokistik mendapatkan kepuasan seksual dari menerima rasa sakit dan/atau hinaan.
Aktivitas seksual sadomasokistik ditandai oleh teknik yang melibatkan dominasi dan penyerahan ekstrim dan dengan memberi dan menerima siksaan. Sebagian besar penderita adalah wanita. Disebut sadomasokistik karena pelakunya memiliki sisi sadistik dan masokistik dari kepribadian mereka. Tetapi, walaupun banyak yang bertukar peran, masokistik lebih banyak dari sadistik.
6. Fetishisme
Fetishisme adalah ketergantungan pada suatu bagian tubuh atau suatu benda (yang dinamakan fetish) untuk mendapatkan rangsangan dan kepuasan seksual. Penderitanya menjadi terangsang dengan bagian tubuh (misalnya bokong) atau suatu benda (biasanya pakaian dalam) yang bagi sebagian besar orang hanya merupakan stimuli. Benda itu mungkin dapat menjadi dasar fantasi atau membantu percintaan tetapi bukan menjadi pengganti aktivitas seksual yang lebih konvensional. Fetishist sesungguhnya adalah orang yang tidak mampu menikmati seks tanpa adanya sebuah fetish. Fetish mungkin bagian tubuh (seperti bokong, misalnya), benda mati (seperti sepasang sepatu), atau bahan (seperti karet). Pada kasus ekstrim, objek fetish menjadi pengganti pasangan manusia yang nyata.
7. Skatologia telepon
Membuat hubungan telepon yang cabul dengan orang lain yang tidak menginginkannya.
8. Transvestisme
Transvestisme juga dikenal sebagai berpakaian lawan jenis (cross-dressing). Bagi sebagian pria, transvestisme merupakan suatu aktivitas seksual di mana kepuasan emosional dan fisik diperoleh dari menggunakan pakaian wanita. Keliru jika menganggap transvestisme adalah homoseksual. Sebagian besar adalah heteroseksual dengan kehidupan seks yang cukup konvensional dan banyak yang menikah serta memiliki anak.
Pola pakaian lawan jenis cukup bervariasi. Sebagian transvestist menolak pakaian pria sama sekali dan menggunakan pakaian wanita sepanjang waktu. Sebagian lagi hanya menggunakan pakaian wanita kadang-kadang saja atau sering kali, sedangkan yang lain hanya memilih satu jenis pakaian saja. Sebagian penderita transvestisme memiliki kepribadian ganda --satu pria dan satu wanita-- dan berpakaian lawan jenis untuk mengekspresikan kepribadian wanitanya sementara pada dasarnya adalah maskulin.
Biasanya kelainan ini bermula sejak anak-anak atau remaja. Seperangkat pakaian yang disukai dapat menjadi benda yang merangsang nafsu seksualnya. Awalnya dipakai pada saat masturbasi, kemudian saat persetubuhan. Yang dikenakan mula-mula hanya terbatas cross-dressing parsial (hanya mengenakan BH dan celana dalam), lama-kelamaan mengenakan pakaian wanita lengkap, cross-dressing total. Yang terakhir dilakukan ketika si penderita mulai merasa mampu berdikari, sekitar masa remaja sampai dewasa muda. Frekuensi kejadiannya makin lama makin meningkat dan akhirnya menjadi kebiasaan.
Seiring dengan bertambahnya usia, kecenderungan untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui cara ini dapat berkurang atau bahkan hilang. Walaupun ada kalanya sejumlah kecil transvestit muncul pada usia lebih lanjut, yang menghendaki mengenakan pakaian wanita dan hidup sebagai wanita secara tetap.
Dalam kasus terakhir ini transvestisme berubah menjadi transeksualisme; penderita ingin berganti kelamin, menjadi seperti lawan jenis, dan tidak lagi mendapat kepuasan seksual hanya dengan cross-dressing. Penderita merasa dirinya benar-benar wanita
9. Satiriasis
Juga dikenal sebagai Don Juanisme atau adiksi seksual. Kondisi ini adalah ekuivalen pria dari nimfomania, suatu gangguan psikologis di mana pria didominasi oleh keinginan yang tidak henti-hentinya untuk melakukan hubungan seksual dengan hanyak pasangan yang berbeda. Kadang-kadang diduga disebabkan oleh narsikisme yang kuat dan perasaan perlunya kontrol dari perasaan inferior melalui keberhasilan seksual.
10. Perilaku seksual kompulsif
Adalah pengulangan tindakan erotik tanpa kenikmatan. Kompulsi seksual ini bisa berupa telepon seks yang tanpa akhir, one-night stand (affair singkat), atau masturbasi beberapa kali dalam sehari, penderitanya seringkali mengaku merasa “tidak terkendali” sebelum aktivitas dan merasa bersalah atau malu setelahnya. Apapun kepuasan seksual yang didapatnya, tindakan tersebut adalah dangkal dan hambar.
Pencarian kepuasan seksual yang mereka lakukan bersifat kompulsif, kadang-kadang ritualistik. Mereka merasa tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri selama pencarian, dan setelahnya merasa putus asa, malu, dan membenci diri sendiri. Tetapi satu-satunya cara untuk dapat lolos dari perasaan negatif itu adalah melalui pengulangan pencarian kepuasan seksual yang untuk sementara mematikan atau menumpulkan perasaan malu. Dengan demikian tercipta lingkaran setan yang tidak ada hentinya.
11. Incest
Hubungan seksual antara kerabat dekat di mana perkawinan di antara mereka ditentang oleh hukum. Incest merupakan tabu sosial yang besar.
Apakah yang Menyebabkan Parafilia?
Para peneliti tidak mengetahui penyebab pastinya. Tetapi ada dua teori:
Pemaparan seks yang prematur atau traumatik, dalam bentuk penyiksaan seksual (sexual abuse) pada masa anak-anak. Kira-kira 75 persen pria yang diterapi di National Institute for Study, Prevention, and Treatment Sexual Trauma, di Baltimore, adalah korban penyiksaan seksual pada masa anak-anaknya. Karena alasan yang belum dimengerti, seorang anak perempuan yang mengalami penyiksaan seksual lebih sering terinhibisi secara seksual, sedangkan anak laki-laki lebih sering mewujudkan perilaku parafilia.
Penekanan yang berlebihan terhadap keingintahuan alami tentang seks, karena alasan religius atau alasan lain. Anak laki-laki yang diajari bahwa seks adalah kotor dan menerima hukuman karena keingintahuannya terhadap seks mungkin menjadi pria dengan perilaku fetishisme.
Penderita sendiri rata-rata tidak merasa atau menganggap dirinya sakit atau mengidap kelainan seksual sampai mendapat perhatian dokter akibat perbuatan seksual itu menimbulkan konflik di sekitarnya.
Pendekatan pada penderita hendaknya dengan penuh pengertian, tidak dengan menghakimi atau mempersalahkan. Juga dicoba menyelami perasaan dan jiwa mereka karena seperti disebutkan tadi acap kali gangguan itu terbentuk dari keinginan dan pengalaman masa lalu.
Parafilia berasal dari bahasa Yunani: para, yang berarti di luar kebiasaan, dan filia yang berarti cinta.
Sebagian parafilia mirip dengan perilaku yang oleh banyak orang dianggap tidak normal atau mengganggu hubungan personal. Sebagai contohnya: banyak pria terangsang oleh wanita yang mengenakan pakaian dalam hitam. Tetapi penderita parafilia fetishisme hanya terangsang oleh wanita yang mengenakan pakaian dalam warna hitam.
Perilaku ini menjadi masalah jika bersifat kompulsif, sehingga merusak hubungan, kesehatan mental/psikologis seseorang, melanggar hak orang lain, mengancam kesehatan fisik/mentalnya, dan melanggar hukum, seperti pedofilia, yaitu ketertarikan secara seksual dengan anak-anak.
Pada umumnya, parafilia merupakan masalah karena memenuhi kriteria di atas. Dalam istilah psikologis, suatu aktivitas seksual yang tidak lazim didiagnosis sebagai parafilia jika perilaku tersebut kuat, berlangsung sekurangnya enam bulan, dan pelaku merasa harus melakukan dorongannya atau mengalami ketegangan yang berat jika menghindari dorongannya itu.
Parafilia jarang berdiri sendiri dan mungkin merupakan salah satu aspek dan gangguan kejiwaan lain seperti skizofrenia atau gangguan kepribadian. Parafilia hampir seluruhnya pria, dengan kekecualian masokisme.
Penting diingat, bahwa parafilia adalah perilaku (tindakan), dan bukan fantasi. Memiliki fantasi seksual yang tidak lazim sering ditemukan atau tidak perlu menimbulkan kekuatiran.
Dr. John Money, melalui penelitiannya di Johns Hopkins Hospital, Baltimore, memberi banyak sumbangan dalam pemahaman parafilia. Parafilia yang paling sering ditemukan adalah:
1. Ekshibisionisme
Seseorang mendapatkan kepuasan seksual dengan memamerkan genitalianya sendiri kepada orang asing yang tidak mau melihatnya. Bagi seorang ekshibisionis, kepuasan berasal dari reaksi orang lain, yang secara keliru diduga (oleh si penderita) sebagai ekspresi kepuasan seksual.
Kepuasan seksual diperoleh penderita saat melihat reaksi terperanjat, takut, kagum, jijik, atau menjerit dari orang yang melihatnya. Kemudian hal tersebut digunakan sebagai dasar untuk fantasi masturbasi. Orgasme dicapai dengan melakukan masturbasi pada saat itu juga atau sesaat kemudian.
Para peneliti menyatakan ekshibisionis memiliki pendekatan yang tidak dewasa terhadap seks, dengan kebutuhan yang besar untuk diperhatikan. Ekshibisionisme dan voyeurisme merupakan sebagian besar pelanggaran seksual yang ditangani oleh polisi.
Sebelum beraksi, ia terus merasa gelisah, tercekam, dan tegang. Perasaannya akan terasa lega begitu berhasil memamerkan penisnya pada wanita dewasa atau anak dengan usia dan bentuk tubuh sesuai keinginannya. Pada saat melakukan ia seolah-olah bermimpi, tidak mengetahui keadaan sekitarnya dan tidak menyadari bahaya akan tertangkap. Setelah itu muncul perasaan menyesal dan takut ditangkap. Namun, perasaan ini tidak cukup kuat untuk mencegahnya berbuat ulang pada kesempatan lain.
Dalam banyak kasus tindakan didahului suatu periode di mana ia pergi ke suatu tempat sepi dan menunggu sampai hari agak gelap. Namun, ada pula ekshibisionis yang tidak menghindari suasana ramai sehingga tidak malu-malu melakukan perbuatannya di toko, kamar tunggu praktik dokter, atau jendela rumahnya pada siang bolong. Ada pula yang timbulnya secara impulsif karena perasaan ingin melakukannya timbul seketika, sehingga tanpa pikir panjang ia menuruti dorongan hatinya.
Acap kali seorang ekshibisionis dapat melakukan tindakan pengamanan supaya tidak tertangkap basah saat melakukannya. Ia teliti dulu sebelumnya apakah ada pria lain yang mengamatinya atau menutupi kembali penisnya bila tiba-tiba muncul seseorang yang tidak diinginkan. Ekshibisionis banyak ditemukan pada usia 20-an dan banyak di antaranya mengalami kesulitan ereksi dalam aktivitas seksual lainnya.
2. Voyeurisme
Ciri utama voyeurism (di dunia kedokteran dikenal sebagai skopofilia) adalah adanya dorongan yang tidak terkendali untuk secara diam-diam mengintip atau melihat wanita yang sedang telanjang, melepas pakaian, atau melakukan kegiatan seksual.
Penderita memperoleh kepuasan seksual dari situ. Wanita yang diintip biasanya tak dia kenal. Mengintip menjadi cara eksklusif untuk mendapatkan kepuasan seksual. Anehnya, ia sama sekali tidak menginginkan berhubungan seksual dengan wanita yang diintip. Cuma berharap memperoleh kepuasan orgasme dengan cara masturbasi.
Berbeda dengan pria normal - yang baru mendapatkan kepuasan seksual setelah melakukan persetubuhan (terkadang masturbasi) - penderita voyeurism sudah terpuaskan tanpa harus melakukan sanggama. Namun, penyuka film atau pertunjukan porno jangan takut dikatakan menderita kelainan ini, karena para pemain film itu dengan sengaja menghendaki dan menyadari bahwa mereka akan ditonton orang lain.
Voyeurism sejati tidak terangsang jika melihat wanita yang tidak berpakaian di hadapannya. Mereka hanya terangsang jika mengintipnya. Dengan mengintip mereka mampu mempertahankan keunggulan seksual tanpa perlu mengalami risiko kegagalan atau penolakan dari pasangan yang nyata.
3. Frotteurisme
Menggosokkan badan atau memeluk orang lain yang tidak mau.
4. Pedofilia
Orang dewasa, terutama pria, yang mencari kontak fisik dan seksual dengan anak-anak prapubertas yang tidak mau berhubungan dengan mereka.
Sekitar dua pertiga korban kelainan ini adalah anak-anak berusia 8 - 11 tahun. Kebanyakan paedofilia menjangkiti pria, namun ada pula kasus wanita berhubungan seks secara berulang dengan anak-anak. Banyak kaum paedofil mengenali korbannya, misalnya saudara, tetangga, atau kenalan. Kaum paedofil dikategorikan dalam tiga golongan yakni di atas 50 tahun, 20-an hingga 30 tahun, dan para remaja. Sebagian besar mereka adalah para heteroseksual dan banyak juga para ayah.
5. Sadomasokisme
Sadisme seksual dan masokisme. Sadisme -mengambil nama dari Marquis de Sade (1740-1814) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kenikmatan atau rangsangan seksual yang diperoleh dengan menimbulkan nyeri atau menyiksa pasangannya.
Masokisme -nama pengarang terkenal lain tentang eksploitasi seksual, Leopold von Sacher-Masoch (1836-1895) menggambarkan keinginan untuk mendapatkan nyeri dan kenikmatan seksual dari siksaan atau hinaan (secara fisik atau verbal).
Penderita sadistik mendapatkan kepuasan seksual dari menimbulkan rasa sakit dan/atau hinaan, sedangkan masokistik mendapatkan kepuasan seksual dari menerima rasa sakit dan/atau hinaan.
Aktivitas seksual sadomasokistik ditandai oleh teknik yang melibatkan dominasi dan penyerahan ekstrim dan dengan memberi dan menerima siksaan. Sebagian besar penderita adalah wanita. Disebut sadomasokistik karena pelakunya memiliki sisi sadistik dan masokistik dari kepribadian mereka. Tetapi, walaupun banyak yang bertukar peran, masokistik lebih banyak dari sadistik.
6. Fetishisme
Fetishisme adalah ketergantungan pada suatu bagian tubuh atau suatu benda (yang dinamakan fetish) untuk mendapatkan rangsangan dan kepuasan seksual. Penderitanya menjadi terangsang dengan bagian tubuh (misalnya bokong) atau suatu benda (biasanya pakaian dalam) yang bagi sebagian besar orang hanya merupakan stimuli. Benda itu mungkin dapat menjadi dasar fantasi atau membantu percintaan tetapi bukan menjadi pengganti aktivitas seksual yang lebih konvensional. Fetishist sesungguhnya adalah orang yang tidak mampu menikmati seks tanpa adanya sebuah fetish. Fetish mungkin bagian tubuh (seperti bokong, misalnya), benda mati (seperti sepasang sepatu), atau bahan (seperti karet). Pada kasus ekstrim, objek fetish menjadi pengganti pasangan manusia yang nyata.
7. Skatologia telepon
Membuat hubungan telepon yang cabul dengan orang lain yang tidak menginginkannya.
8. Transvestisme
Transvestisme juga dikenal sebagai berpakaian lawan jenis (cross-dressing). Bagi sebagian pria, transvestisme merupakan suatu aktivitas seksual di mana kepuasan emosional dan fisik diperoleh dari menggunakan pakaian wanita. Keliru jika menganggap transvestisme adalah homoseksual. Sebagian besar adalah heteroseksual dengan kehidupan seks yang cukup konvensional dan banyak yang menikah serta memiliki anak.
Pola pakaian lawan jenis cukup bervariasi. Sebagian transvestist menolak pakaian pria sama sekali dan menggunakan pakaian wanita sepanjang waktu. Sebagian lagi hanya menggunakan pakaian wanita kadang-kadang saja atau sering kali, sedangkan yang lain hanya memilih satu jenis pakaian saja. Sebagian penderita transvestisme memiliki kepribadian ganda --satu pria dan satu wanita-- dan berpakaian lawan jenis untuk mengekspresikan kepribadian wanitanya sementara pada dasarnya adalah maskulin.
Biasanya kelainan ini bermula sejak anak-anak atau remaja. Seperangkat pakaian yang disukai dapat menjadi benda yang merangsang nafsu seksualnya. Awalnya dipakai pada saat masturbasi, kemudian saat persetubuhan. Yang dikenakan mula-mula hanya terbatas cross-dressing parsial (hanya mengenakan BH dan celana dalam), lama-kelamaan mengenakan pakaian wanita lengkap, cross-dressing total. Yang terakhir dilakukan ketika si penderita mulai merasa mampu berdikari, sekitar masa remaja sampai dewasa muda. Frekuensi kejadiannya makin lama makin meningkat dan akhirnya menjadi kebiasaan.
Seiring dengan bertambahnya usia, kecenderungan untuk mendapatkan kepuasan seksual melalui cara ini dapat berkurang atau bahkan hilang. Walaupun ada kalanya sejumlah kecil transvestit muncul pada usia lebih lanjut, yang menghendaki mengenakan pakaian wanita dan hidup sebagai wanita secara tetap.
Dalam kasus terakhir ini transvestisme berubah menjadi transeksualisme; penderita ingin berganti kelamin, menjadi seperti lawan jenis, dan tidak lagi mendapat kepuasan seksual hanya dengan cross-dressing. Penderita merasa dirinya benar-benar wanita
9. Satiriasis
Juga dikenal sebagai Don Juanisme atau adiksi seksual. Kondisi ini adalah ekuivalen pria dari nimfomania, suatu gangguan psikologis di mana pria didominasi oleh keinginan yang tidak henti-hentinya untuk melakukan hubungan seksual dengan hanyak pasangan yang berbeda. Kadang-kadang diduga disebabkan oleh narsikisme yang kuat dan perasaan perlunya kontrol dari perasaan inferior melalui keberhasilan seksual.
10. Perilaku seksual kompulsif
Adalah pengulangan tindakan erotik tanpa kenikmatan. Kompulsi seksual ini bisa berupa telepon seks yang tanpa akhir, one-night stand (affair singkat), atau masturbasi beberapa kali dalam sehari, penderitanya seringkali mengaku merasa “tidak terkendali” sebelum aktivitas dan merasa bersalah atau malu setelahnya. Apapun kepuasan seksual yang didapatnya, tindakan tersebut adalah dangkal dan hambar.
Pencarian kepuasan seksual yang mereka lakukan bersifat kompulsif, kadang-kadang ritualistik. Mereka merasa tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri selama pencarian, dan setelahnya merasa putus asa, malu, dan membenci diri sendiri. Tetapi satu-satunya cara untuk dapat lolos dari perasaan negatif itu adalah melalui pengulangan pencarian kepuasan seksual yang untuk sementara mematikan atau menumpulkan perasaan malu. Dengan demikian tercipta lingkaran setan yang tidak ada hentinya.
11. Incest
Hubungan seksual antara kerabat dekat di mana perkawinan di antara mereka ditentang oleh hukum. Incest merupakan tabu sosial yang besar.
Apakah yang Menyebabkan Parafilia?
Para peneliti tidak mengetahui penyebab pastinya. Tetapi ada dua teori:
Pemaparan seks yang prematur atau traumatik, dalam bentuk penyiksaan seksual (sexual abuse) pada masa anak-anak. Kira-kira 75 persen pria yang diterapi di National Institute for Study, Prevention, and Treatment Sexual Trauma, di Baltimore, adalah korban penyiksaan seksual pada masa anak-anaknya. Karena alasan yang belum dimengerti, seorang anak perempuan yang mengalami penyiksaan seksual lebih sering terinhibisi secara seksual, sedangkan anak laki-laki lebih sering mewujudkan perilaku parafilia.
Penekanan yang berlebihan terhadap keingintahuan alami tentang seks, karena alasan religius atau alasan lain. Anak laki-laki yang diajari bahwa seks adalah kotor dan menerima hukuman karena keingintahuannya terhadap seks mungkin menjadi pria dengan perilaku fetishisme.
Penderita sendiri rata-rata tidak merasa atau menganggap dirinya sakit atau mengidap kelainan seksual sampai mendapat perhatian dokter akibat perbuatan seksual itu menimbulkan konflik di sekitarnya.
Pendekatan pada penderita hendaknya dengan penuh pengertian, tidak dengan menghakimi atau mempersalahkan. Juga dicoba menyelami perasaan dan jiwa mereka karena seperti disebutkan tadi acap kali gangguan itu terbentuk dari keinginan dan pengalaman masa lalu.
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini