Sebenarnya banyak sekali hasil keluyuran saya beberapa waktu lalu...cuma saya belum sempat mempostingnya..maklum, selain pekerjaan dan kesibukan dirumah, kebun, mungkin akibat sakit lama yang kambuh membuat saya harus sering beristirahat, untuk sementara waktu kegiatan menulis saya di blog berkurang....
Sebagai contoh, salah satu hasil dari keluyuran pada tanggal 11 Juni 2010 ini mungkin cukup menarik dan juga sedikit membuat bingung saya juga....
Cerita ini akan saya mulai, berbekal hanya dengan vespa kesayangan dan seorang teman yang selalu menemani kemanapun saya berkelana. Siang menyengat meski mendung menggayut tanpa alasan jelas...deru mesin Italia mengalun merdu, menyentak angin jalanan yang menebarkan hawa panas dan membiaskan fatamorgana....
(wakakakakaka....kata - kata yang terlalu puitis..).
8 kilometer dari arah rumah menuju ke arah Malang terdapat kebun raya Purwodadi yang siang itu nampaknya sepi dari pengunjung. Vespa tua sudah terparkir di pinggir pintu masuk. Dihadapan saya Gunung Arjuna dan Welirang berdiri ditempa matahari menimbulkan efek tersendiri, disebelah kiri depan lamat-lamat masih terlihat puncak bukit atau gunung Wedon. Hampir saja niatan untuk masuk Kebun Raya Purwodadi menjadi tujuan final saya hari itu, kalau tidak karena saya memikirkan teori-teori sejarah dalam pikiran saya yang tiba-tiba muncul, mungkin tiket masuk sudah berada di tangan.
Vespa mulai saya starter, teman saya bertanya " mau kemana lagi bos..?" heran dia menatap saya. "udah ikut aja coy.." sahut saya sekenanya. 500 meter dari pintu Kebun Raya Purwodadi merupakan pertigaan Purwodadi menuju daerah Nongkojajar, disitu saya berbelok dan menancap gas dalam-dalam mengingat daerah yang berbukit-bukit dan jalan yang berkelok-kelok. Tak berapa lama saya kemudian sampai di pertigaan kecil, tanpa pikir panjang dengan hati-hati vespa mengarah menuju jalan beraspal kampung yang saya tidak tahu pasti dimana ujungnya tersebut. Aspal yang mulai rusak membuat perjalanan dengan vespa bagaikan naik odong-odong, bergoyang tanpa henti. 25 menit selanjutnya saya berhenti di sebuah bukit yang nampaknya cukup baik buat melepas kepenatan dan memberi kesempatan bagi vespa tua mendinginkan mesinnya. Tanpa sengaja mata ini tertuju pada sebuah tonjolan batu yang nampak tersembul diantara rerumputan. Karena posisi batu tersebut lebih tinggi dari jalan dan berada disisi bawah bukit, membuat saya semakin tertarik mengingat di kawasan ini batuan besar sangat jarang ditemukan dikarenakan bukan merupakan laluan lahar panas ataupun berdekatan dengan gunung berapi.
Batu tersebut rupanya menjulang dari bawah bukit dengan ketinggian saya perkirakan, mencapai 20 - 25 meter dengan perlahan saya mencoba untuk turun memeriksa, betapa lebih terkejutnya saya karena rupanya tidak hanya satu batu saja yang saya temukan melainkan dua buah..!! layaknya seperti sebuah pintu gerbang atau gapura*.
Karena medan yang terlalu sulit untuk menuruni bukit tersebut, akhirnya saya mencoba memutarinya mencoba sisi yang lebih landai, beruntung saya bertemu beberapa orang warga lokal yang rupanya baru saja merumput dan mencari kayu bakar, tanpa berlama-lama untuk berbasa basi saya mencoba mengorek sedikit keterangan tentang dua buah batu yang menyerupai gapura tersebut, sayang tiada keterangan yang berarti selain saya mendapatkan nama desa lokasi batu tersebut. Mereka penduduk kampung Sempu, tempat lokasi dimana batu ini berada.
Baiklah, melihat batuannya dapat diperkirakan batuan ini jenis andesit yang merupakan jenis batuan yang paling sering ditemukan di daerah yang aktivitas vulkaniknya tinggi seperti Indonesia. Yang menariknya batuan ini seperti bentukan alam yang hampir persis menyerupai tugu gapura, berdiri bersisihan seakan-akan merupakan pintu gerbang menuju suatu tempat,sebagaimana pintu masuk candi-candi jaman dulu. Lebih menguatkan dugaan saya akan batu ini tidaklah sekedar batuan alam semula jadi adalah begitu saya mencapai dasarnya yang rata, ternyata didepan dua batu ini terhampar genangan air layaknya kolam yang penuh ditumbuhi kangkung dan semanggi yang setidaknya memiliki luas +50 meter persegi. Sedangkan sungai terdekat berjarak 400 meteran dari lokasi dan saya juga sulit mencari sumber air di sekitar lokasi, mengingat banyaknya volume air, sedangkan tidak ada satupun jenis vegetasi khas yang biasanya saya dapati di sekitar sumber air.
Saya mendongak keatas menatap matahari yang terlindung dibalik bukit dimana sepotong jalan tepat berada diatas bukit, pikiran melayang-layang , kalau saja memang batu ini merupakan pintu gerbang bekas kebudayaan atau peradaban setidaknya harus ada sesuatu disisi bukit sana. Tanpa pikir panjang saya mendaki lagi bukit yang tepat berada dibelakang gerbang batu itu. Matahari masih terang memancar tepat berada diantara gunung Arjuna dan Welirang dan didepannya berdiri gunung Wedon.
Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi, jadi tepat dibalik dua batu yang menyerupai gerbang atau gapura ini adalah gunung Arjuna. Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah memang dua batu itu memang asli bentukan alam hingga seperti gapura , atau memang merupakan sisa kebudayaan prasejarah ( mengingat bahwa kebudayaan manusia Jawa telah ada 600.000 tahun yang lalu ). Apakah manusia prasejarah telah memiliki pemikiran dasar tentang fungsi sebuah pintu gerbang..?
Masih banyak pertanyaan yang tersisakan, kenapa gapura purba ini menghadap ke arah gunung? belum lagi teori saya sendiri tentang kebudayaan Jawa purba yang masih perlu penelitian lebih lanjut.
Well.. mungkin saya harus lebih meluangkan waktu lagi melakukan research dan mencari literatur berkaitan dengan kebudayaan manusia purba di Jawa.
*Gapura adalah suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang ke suatu kawasan atau kawasan. Gapura sering dijumpai di pura dan tempat suci Hindu, karena gapura merupakan unsur penting dalam arsitektur Hindu.
Gapura juga sering diartikan sebagai pintu gerbang. Dalam bidang arsitektur gapura sering disebut dengan entrance, namun entrance itu sendiri tidak bisa diartikan sebagai gapura. Simbol yang dimaksudkan disini bisa juga diartikan sebuah ikon suatu wilayah atau area. Secara hirarki sebuah gapura bisa disebut sebagai ikon karena gapura itu sendiri lebih sering menjadi komponen pertama yang dilihat ketika kita memasuki suatu wilayah.
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini