Sepintas tidak ada yang salah ketika kita mendengar lagu-lagu SMASH, 7 Icons, Cherry Belle, Dragon Boyz dan lainnya. Namun tetap saja keberadaan mereka mengusik pikiran saya. Bukan karena personil SMASH jauh lebih ganteng, ataupun popularitas mereka yang ibarat langit dan bumi dengan saya. Namun ini soal menempatkan hal yang ideal dengan kenyataan yang saya saksikan. Mereka tidak mampu menghadirkan musik sesuai yang saya harapkan. Musik sebagai karya dan simbol kreativitas, bukan sebagai kehendak pasar semata.
Musik dan hiburan adalah dua hal yang berbeda menurut saya. Namun keterpaduan dua hal tersebut, tentu saja dapat melahirkan kenikmatan yang luar biasa. Persoalan sekarang adalah, benarkah hiburan yang dilahirkan oleh para Boy Band dan Girl Band yang menjamur belakangan ini, sudah cukup mampu menghadirkan entitas musik yang sebenarnya? Mereka tidak bisa memainkan alat musik, mereka tidak menciptakan lagu, lagi pula suara mereka tidak seindah ketampanan dan kecantikannya. Lantas apa yang membuat kaum muda memuja-mujanya bak dewa dan bidadari yang turun dari langit?
Semasa kecil dulu, fenomena New Kids on The Block (NKOTB), begitu menjalar diseantero dunia. Namun ketika itu, aku belum mampu memilah sama sekali, yang mana musik lipsync, jual tampan dan pemusik sejati. Dalam benakku, mereka adalah individu dan kelompok yang sama-sama melahirkan suara dengan alunan tertentu. Di Indonesia sendiri, gejala musik berbasis pasar (jual ketampanan dan kecantikan), mulai terasa di pertengahan tahun 90-an, yang ditandai dengan munculnya Cowboy, Cool Colours, Bening, dll. Bisa dikatakan, mereka lahir dan besar bukan dari dunia musik, namun cenderung menjadi representasi dunia perwajahan (model, akting, drama, dll).
Yang pasti, menjamurnya para Boy Band dan Girl Band belakangan ini, cenderung menciptakan distorsi (pengaburan makna), akan arti musik, karya dan kreatifitas sesungguhnya. Kita paham, bahwa trend, style dan budaya korea memang menjadi konsumsi yang paling digemari kaum muda Asia hari ini, khususnya Indonesia. Namun ini bukan menjadi alasan klasik untuk meminggirkan musik dan tujuan sebenarnya, yakni sebagai media kretivitas dan karya yang penuh makna sosial dibaliknya. Toh lagu yang dinyanyikan para Boy Band dan Girl Band hari ini juga lebih pantas disebut jiplakan akibat banyaknya recyle (daur ulang yang sudah pernah dinyanyikan sebelumnya) ketimbang karya yang bersifat baru.
Notes : Coretan ini adalah pandangan pribadi, jadi Anda yang membacanya boleh setuju ataupun tidak terhadap isi yang disampaikan
Musik dan hiburan adalah dua hal yang berbeda menurut saya. Namun keterpaduan dua hal tersebut, tentu saja dapat melahirkan kenikmatan yang luar biasa. Persoalan sekarang adalah, benarkah hiburan yang dilahirkan oleh para Boy Band dan Girl Band yang menjamur belakangan ini, sudah cukup mampu menghadirkan entitas musik yang sebenarnya? Mereka tidak bisa memainkan alat musik, mereka tidak menciptakan lagu, lagi pula suara mereka tidak seindah ketampanan dan kecantikannya. Lantas apa yang membuat kaum muda memuja-mujanya bak dewa dan bidadari yang turun dari langit?
Semasa kecil dulu, fenomena New Kids on The Block (NKOTB), begitu menjalar diseantero dunia. Namun ketika itu, aku belum mampu memilah sama sekali, yang mana musik lipsync, jual tampan dan pemusik sejati. Dalam benakku, mereka adalah individu dan kelompok yang sama-sama melahirkan suara dengan alunan tertentu. Di Indonesia sendiri, gejala musik berbasis pasar (jual ketampanan dan kecantikan), mulai terasa di pertengahan tahun 90-an, yang ditandai dengan munculnya Cowboy, Cool Colours, Bening, dll. Bisa dikatakan, mereka lahir dan besar bukan dari dunia musik, namun cenderung menjadi representasi dunia perwajahan (model, akting, drama, dll).
Yang pasti, menjamurnya para Boy Band dan Girl Band belakangan ini, cenderung menciptakan distorsi (pengaburan makna), akan arti musik, karya dan kreatifitas sesungguhnya. Kita paham, bahwa trend, style dan budaya korea memang menjadi konsumsi yang paling digemari kaum muda Asia hari ini, khususnya Indonesia. Namun ini bukan menjadi alasan klasik untuk meminggirkan musik dan tujuan sebenarnya, yakni sebagai media kretivitas dan karya yang penuh makna sosial dibaliknya. Toh lagu yang dinyanyikan para Boy Band dan Girl Band hari ini juga lebih pantas disebut jiplakan akibat banyaknya recyle (daur ulang yang sudah pernah dinyanyikan sebelumnya) ketimbang karya yang bersifat baru.
Notes : Coretan ini adalah pandangan pribadi, jadi Anda yang membacanya boleh setuju ataupun tidak terhadap isi yang disampaikan
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini