Buscar

Selasa, 08 November 2011

Membunuh, Setelah Bertahun Dianiaya

Hati Rahmat Awifi (26) berbunga-bunga, setelah kapal yang ia tumpangi tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Hari itu, untuk pertama kalinya, remaja yang baru saja lulus SMP itu akan bertemu ibunya, Nuraini (57), setelah 18 tahun berpisah. Sambil saling berbicara lewat telepon seluler, ibu dan anak itu saling mencari.
"Waktu itu dia memakai celana pendek, jadi saya bisa segera melihat tanda lahir di betis kanannya," kenang Nuraini, saat ditemui di rumah kontrakannya di Jalan Balai Rakyat VII, Tugu Selatan, Koja Utara, Jakarta Utarat, Rabu (2/11/2011) sore. Pertemuan ibu dan anak pada tahun 2009 itu diwarnai air mata bahagia.
"Rahmat anak yang pendiam dan rendah diri, meski cekatan dan serba bisa. Dia rajin, hemat, dan keras hati. Saat masih bersama saya, dia anak yang penurut dan tahan menderita," ungkap Nuraini.
Menurut dia, sejak kelas tiga SD,  Rahmat mengerjakan banyak hal. Dari urusan dapur sampai bersampan membawa ratusan tandan pisang.


Dianiaya
Nuraini, Arsyad (suaminya), dan ketiga anaknya --Puput Heriyani (29), Rahmat (26), dan Yusuf Habibie (23), awalnya tinggal di Lampung. Arsyad bekerja sebagai nahkoda kapal nelayan, sedang Nuraini bekerja mendampingi bidan memandikan bayi yang baru lahir atau mengurut bayi. Meski suami-istri itu bekerja, kondisi ekonomi rumah tangga mereka masih buruk.
Tahun 1990, hubungan Nuraini dan suaminya memburuk setelah Arsyad menikah lagi dan pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan. "Saya tidak mau dimadu. Oleh karena itu saya tetap tinggal di  Lampung. Ketiga anak dibawa bapaknya tanpa sepengetahuan saya, termasuk Rahmat yang diambil tahun 1993," kata Nuraini.
Sejak tinggal bersama ayahnya, Rahmat yang kala itu masih kelas satu SD, mulai sering dianiaya ayahnya. Penyebabnya, Rahmat sering kabur dari rumah mencari ibunya. Bahkan kadang mengajak adiknya.
Ulah Rahmat tentu saja membuat Arsyad marah di tengah tekanan kemiskinan. "Saya pernah dengan tangan terikat digantung di kusen pintu. Betis saya dipukuli sampai biru dengan pelat lampu neon. Saya menangis dan berteriak memanggili ibu sampai sulit bernafas karena tersengal-sengal," kata Rahmat saat ditemui di Polda Metro Jaya, Selasa (1/11/2011).
Namun demikian, hukuman itu tidak membuat Rahmat jera mencari ibunya. Ia mulai jarang pulang. Tidak tahan lagi dengan perlakuan ayah, Rahmat kabur dan tinggal bersama kerabatnya yang berjualan makanan di terminal bus di Makassar.  Di tempat itulah saat kelas dua SMP, ia mulai mengenal minuman keras, menonton tayangan porno, dam merokok.
Untuk membiayai sekolahnya, Rahmat membantu para kondektur bus mencari penumpang. Ia sering berkelahi karena berebut penumpang.    
Rahmat bangga bisa tumbuh menjadi laki-laki yang lebih perkasa dari ayahnya. Meski demikian buat dia, sosok ayah yang benar itu seperti ibunya. "Selain berani melindungi, ibu sering menyapa, mengusap, ramah, dan selalu ada saat saya membutuhkan," ujar Rahmat.
Buat dia, sosok perkasa seseorang itu hanya layak dipertontonkan saat terdesak atau terhina.
Pembunuhan
Tahun 2009, Rahmat bukan saja bertemu ibunya, tetapi juga bertemu dengan Hertati (35). Keduanya terlibat asmara sampai berujung pembunuhan di rumah kontrakan Hertati di Jalan Poncol, Gang Salon, RT 04 RW 03, Jalan Tipar Cakung, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (14/10/2011) dini hari.
Rahmat mengaku membunuh Hertati karena marah dikejar-kejar untuk menikah. Setelah membunuh Hertati, ia memperkosa, menyodomi, membunuh, dan membakar wajah ES (6), anak bungsu Hertati. Kekejian itu ia lakukan di samping mayat Hertati.
Sebelum peristiwa terjadi, warga di sekitar tempat tinggal Rahmat di Jalan Balai Rakyat, mengenal Rahmat sebagai si lembut hati. Seorang perempuan tetangga yang tak mau disebut namanya mengatakan, Rahmat sukarela mengantar putrinya bekerja di Kawasan Berikat Nusantara. "Makanya saya juga kaget ada cerita begini," ucap perempuan tadi.
Contoh sempurna
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Prof Adrianus Meliala mengatakan, kasus Rahmat adalah contoh kasus yang sempurna untuk menjelaskan hubungan kekerasan yang dialami seseorang pada masa lalu dengan kekejaman yang ia lakukan saat dewasa.
Buat Rahmat, sosok Hertati mewakili hubungan cinta dan benci antara Rahmat dengan ibu dan ayahnya. "Rahmat mencintai Hertati seperti ia mencintai ibunya. Tetapi saat Hertati menagih janji kapan Rahmat menikahinya, Rahmat merasa dituding seperti ayahnya yang tidak bertanggungjawab terhadap ibunya," papar Meliala.
Menurut dia, Rahmat berlaku sadis pada anak Hertati karena Rahmat mengalami lust atau ledakan kemarahan yang membuat nafsu seksnya terdongkrak. "Tujuan tersangka memang menghabisi ES untuk menghilangkan jejak, tetapi saat berlangsung, ia menikmati tubuh ES untuk memenuhi nafsu seksnya yang melonjak saat kalap," jelas Meliala.
Guru besar kriminologi UI lainnya, Prof Muhammad Mustofa menambahkan, tersangka tidak pernah mendapat informasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, sementara di sisi lain ia menyerap subkultur kekerasan, terutama saat ia hidup di terminal Makassar. Subkultur kekerasan seperti disampaikan Meliala, adalah anggapan bahwa setiap masalah hanya bisa diselesaikan dengan kekerasan.
Figur ayah
Psikolog Forensik Lia Latief mengatakan, apa yang dilakukan Rahmat adalah perkosaan sadis (sadistic rape).  "Mereka yang melakukan tindakan ini umumnya adalah mereka yang mengalami masalah dengan ayah atau figur ayah seperti halnya Rahmat," ucapnya.
Kriminolog UI Kisnu Widakso menambahkan, figur ayah penting bagi anak-anak karena menjadi pusat otoritas dalam keluarga. Lebih-lebih dalam sistem masyarakat yang paternalistik.
Anton Medan (54), mantan narapidana yang kini membina dan membangun jaringan usaha untuk para mantan narapidana membenarkan bahwa kekejian yang dilakukan para narapidana, dilatarbelakangi kekerasan dalam rumah tangga. "Tetapi di kota-kota besar, termasuk Jakarta, kasus pembunuhan karena persoalan seks maksimal cuma 10 persen. Selebihnya karena persoalan ekonomi," tuturnya.
Menurut Anton, para pelakunya 95 persen tumbuh di kawasan kumuh padat penduduk. Mereka mencari sosok ayah pada para pemimpin geng. Sebab, waktu ayah untuk mendampingi dan berkomunikasi dengan mereka tersita kesibukan kerja.
Lia berpendapat, agar seseorang memperoleh sosok ayah yang benar, maka ayah harus peka terhadap kehidupan anak, terutama kebutuhan emosionalnya. "Bukan hanya sekadar  bercakap-cakap saja, tetapi satu waktu ikut nonton bola saat anaknya bertanding," tutur Lia.
Negara lewat instansi terkait, tambah Mustofa, harus sering memberi informasi kepada warganya tentang alternatif penyelesaian masalah rumah tangga tanpa kekerasan. "Subkultur kekerasan di kawasan kumuh padat penduduk serta lingkungan pendidikan SMU bisa ditekan bila negara memberi informasi tersebut berikut risiko serta contoh-contoh riilnya," papar Mustofa. about Cyber Information http://aboutcyberinformation.blogspot.com/

0 komentar:

Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... -->
 
All About Lembaga cyber information | Copyright © 2011 Diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger