Kawasan perbatasan   sering kali menjadi pemicu konflik  internasional  antarnegara. Lihat saja konflik  Palestina–Israel yang memperebutkan  sepetak tanah di Jalur Gaza, Tepi  Barat, dan Yerusalem Timur. Atau  Konflik India–Pakistan untuk wilayah  Kashmir. 
Begitu juga pada bangsa  ini. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ribuan pulau yang   merupakan wilayah perbatasan dengan teritori negara tetangga. Dan   sepanjang sejarah republik ini, negara tetangga yang paling sering   berkonflik adalah Malaysia.
Tercatat sekurangnya ada   18 titik konflik perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Mulai dari  Pulau Sentut, Tokong Malang Baru, Damar,  Mangkai, Tokong Nanas, Tokong  Belayar, Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil,  Kepala, Sebatik, Gosong  Makasar, Maratua, Sambit, Berhala, Batu Mandi,  Iyu Kecil, dan Karimun.  Pulau-pulau itu tersebar di perairan Selat  Sulawesi Utara, perbatasan  Pulau Kalimantan dengan Malaysia, dan  perairan Batam.
Adapun di daratan, titik   konflik itu membentang sepanjang perbatasan Sarawak (Kalimantan Utara)   dan Kalimantan Barat–Kalimantan Timur. Disebut sebagai titik konflik  karena amat  mudahnya berbagai hal terjadi di wilayah ini dapat menyulut  ketegangan  bilateral kedua negara.
Dari   Sipadan–Ligitan Hingga Ambalat
Tentunya   masih jelas di memori kolektif rakyat Indonesia bagaimana kasus  Sipadan dan Ligitan tahun 2002. Saat itu,  Indonesia “harus rela”  melepas kedua pulau yang berada di Selat Makassar  menjadi milik  Malaysia. Perseteruan akan wilayah perbatasan yang  memuncak hingga ke  Mahkamah Internasional tersebut, membawa hasil mengecewakan bagi  Indonesia.
Tak cukup sampai di situ,   pada Mei 2009, kawasan perairan Ambalat di Kalimantan Timur kembali   menjadi sengketa. Terjadi insiden pengusiran kapal perang Malaysia oleh   kapal perang Indonesia. Termasuk terlacaknya helikopter Malaysia yang   memasuki wilayah Indonesia sejauh 40 mil laut. Untungnya insiden   tersebut tidak berakhir dengan kontak senjata.
Sebelumnya, konflik   Ambalat mulai memanas pada 2005 ketika Malaysia mengklaim wilayah   tersebut sebagai miliknya. Adapun Indonesia bersikukuh bahwa Ambalat   merupakan wilayah kedaulatan republik ini. Sehingga saling klaim   terhadap wilayah yang memiliki kandungan minyak dan gas  hingga 30 tahun  itu pun terjadi.
Hingga 2011, kawasan   Ambalat masih menyisakan masalah yang belum terselesaikan. Tarik ulur  kepentingan kedua negara begitu  alot. Belum ada solusi yang dapat  diterima kedua belah pihak. Indonesia  dan Malaysia tetap kekeuh  bahwa kawasan bernilai Rp 4.200  triliun itu adalah milik mereka.
Pendekatan Budaya
Kiranya,   permasalahan Ambalat patut mendapat perhatian semua pihak. Karena  ibarat api dalam  sekam, jika masalah ini tak segera terselesaikan dapat  menimbulkan  berbagai situasi yang tentunya tak diinginkan kedua  negara.
Saat ini saja, sentimen   negatif rakyat Indonesia kepada Malaysia begitu kuat. Apalagi ditambah   sikap negara Malaysia yang dipersepsikan semena-mena oleh rakyat   Indonesia. Seperti perlakuan tak manusiawi terhadap para Tenaga  Kerja  Wanita (TKW) Indonesia, hingga klaim berbagai budaya dan adat istiadat  bangsa Indonesia sebagai milik Malaysia.
Perlu kiranya pendekatan   budaya dikedepankan ketika jalur diplomasi mengalami jalan buntu (dead   lock) supaya konflik internasional yang sudah sering terjadi tak   berujung pada kontak fisik (perang).
 
 
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini