Cemara laut (Casuarina Sp) dan barisan pohon keben (Barringtonia Sp)  yang hijau meneduhkan pedalaman Pulau Rakata. Di tepian pantai, hamparan  kangkung laut (Ipomoea pes-caprae) menutupi pasir. Tiba-tiba terdengar  suara gemerisik, seekor biawak cepat-cepat menyelusup ke balik  semak-semak. Kehidupan sedemikian semarak di pulau itu.
Tidak terbayangkan, 128 tahun lalu, pulau hijau itu merupakan tanah  kosong tanpa kehidupan. Di balik pesonanya, pulau terpencil di Selat  Sunda itu menyimpan sejarah kelam. Pada 27 Agustus 1883, Krakatau  meletus hebat, menyisakan hanya sepertiga tubuhnya yang kemudian dikenal  sebagai Pulau Rakata. Tebaran abu, batu apung, dan material lainnya  menyelimuti pulau itu dan memusnahkan kehidupan di atasnya.
Namun, justru letusan dan sejarah Krakatau itulah yang menarik orang  dari berbagai penjuru dunia untuk datang. Sejak lama letusan Krakatau  ibarat magnet yang menyedot pelancong. Bahkan, pada Mei 1883, saat  Krakatau pertama kali meletus, serombongan turis yang penasaran datang  ke sana dengan kapal pesiar.
Perusahaan Netherland-Indies Steamship Company yang menawarkan "paket  wisata" berlayar ke Krakatau dengan kapal uap Governor General Loudon  langsung diserbu calon penumpang. Sebanyak 86 penumpang kapal itu dibawa  mengelilingi Krakatau, hanya seminggu setelah Krakatau untuk pertama  kalinya meletus pada Mei 1883. Bahkan, kapten kapal GG Loudon, TH  Lindeman, menyediakan sebuah perahu kecil agar para peserta dapat  menjejakkan kaki di Pulau Krakatau yang tengah menggelegak.
"Pemandangan pulau itu fantastis: pulau itu telanjang dan kering, hutan  tropisnya yang kaya telah lenyap, dan asap naik dari pulau seperti  keluar dari oven," tulis AL Schuurman, yang turut dalam kapal GG Loudon.
Pemandangan asap yang keluar dari puncak di Krakatau dan hutan lebat  yang terbakar akibat letusan memesona kalangan kaya Belanda di Jakarta.  Kapal GG Loudon pun rutin membawa penumpang melintas di sekitar  Krakatau. Bahkan, saat Krakatau akhirnya meletus hebat dan mengirim  tsunami pada 27 Agustus 1883, GG Loudon tengah berada di perairan Selat  Sunda membawa 111 penumpang. Kapal ini selamat karena nasib baik.
Sebagaimana riwayat pendahulunya, asap dan batu pijar yang dilontarkan  Anak Krakatau saat ini juga menjadi atraksi utama wisata. Sejak muncul  tahun 1927, Anak Krakatau menjadi primadona di kompleks kepulauan  Krakatau. Bahkan, pariwisata di kawasan Pantai Anyer-Carita hingga  Lampung tak akan bergairah tanpa daya dukung Anak Krakatau dan  aktivitasnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Banten  Achmad Sari Alam mengatakan, pada saat gelombang Selat Sunda tidak  tinggi dan cuaca cerah, wisatawan dapat diajak melihat panorama Anak  Krakatau lengkap dengan lelehan lava pijar ataupun letupan seperti  kembang api pada malam hari ketika gunung api tersebut sedang  beraktivitas.
Samuel (30) dari Italia datang ke pesisir Pasauran, Banten, bersama tiga  temannya, termasuk yang tertarik dengan aktivitas Krakatau. Mereka  pernah mendengar tentang sejarah kedahsyatan letusan Krakatau dan  menghabiskan sekitar dua hari berkeliling di kawasan itu.
"Kami bisa membayangkan kedahsyatan letusan Krakatau. Apalagi, di  Italia, kami juga punya gunung-gunung api dengan letusan besar seperti  Etna dan Vesuvius yang mengubur kota Pompeii. Di dunia, nama Krakatau  tak kalah terkenal," ujarnya.
Tak hanya di Indonesia, keindahan, sejarah, dan fenomena letusannya  membuat gunung-gunung api potensial menjadi tujuan wisata di dunia sejak  dulu kala. Haraldur Sigurdsson dari Universitas of Rhode Islands dan  Rosaly Lopes-Gautier dari Fet Propulsion Laboratory dalam tulisannya,  Volcanoes and Tourism, menyebutkan, pada abad ke-17 dan ke-18, para  aristokrat mengunjungi Vesuvius dan Etna sebagai paket tur besar.
Di Eropa, Thomas Cook membuka jalur kereta api khusus ke puncak Vesuvius  pada tahun 1880 yang banyak mengangkut kaum aristokrat. Jalur tersebut  hancur sebanyak tiga kali karena aliran lava dan tidak dibangun lagi  setelah letusan tahun 1944. Cook juga menghadapi ancaman dari  orang-orang lokal Italia yang selama ini mendapatkan penghasilan dari  mengangkut turis ke puncak gunung dengan kursi tandu.
Pelancong mengunjungi gunung berapi dengan beragam alasan, salah satunya  ialah menyaksikan dari dekat kekuatan alam. Ketegangan menyaksikan dari  dekat gunung api yang sedang meletus menarik jutaan orang tiap tahun  untuk mengunjungi gunung-gunung aktif meletus, seperti Kilauea (Hawai),  Stromboli (Italia), dan Arenal (Kosta Rika).
Namun, di balik pesonanya, berwisata ke Anak Krakatau tetaplah  berbahaya. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)  Surono mengatakan, pada tahun 1980-an, pengajar di Institut Teknologi  Bandung (ITB) dari Amerika Serikat (AS) tewas saat menyaksikan letusan  Anak Krakatau.
Oleh karena itu, Ketua Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau Anton S  Tripambudi mengingatkan agar wisatawan dan nelayan tetap mematuhi  imbauan supaya tidak mendekati Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer.  Batasan jarak ini merujuk pada pengalaman saat Anak Krakatau terakhir  meletus bisa melontarkan batu sejauh 1,5 kilometer, yakni sudah mencapai  perairan di sekeliling pulau ini. Wisatawan dilarang mendarat ke Pulau  Anak Krakatau.
"Untuk kasus Gunung Anak Krakatau (GAK) boleh didarati kalau statusnya  aktif normal atau di Level I. Namun, begitu masuk Level II (Waspada),  gunung api tidak boleh didekati," kata Anton.
Meski demikian, batas 2 kilometer itu kerap tidak digubris.
"Informasi dari orang-orang kapal, kadang dijumpai ada wisatawan,  terutama orang asing, yang mendarat di GAK," kata Anton.
Pada pengujung Agustus 2011 pun terlihat beberapa wisatawan asing yang  mendarat dan berkemah di Anak Krakatau meskipun larangan mendekati pulau  gunung api itu di radius 2 km masih diberlakukan. Tak hanya itu,  beberapa wisatawan lain terlihat berenang di air laut yang hangat.
Bahkan, saat status gunung ini dinaikkan menjadi Siaga (Level III) pada  30 September 2011, pengunjung yang hendak ke Krakatau tak juga  berkurang. Aktivitas vulkanik di dalam dapur magma yang sangat tinggi  beberapa pekan terakhir juga tak menimbulkan jeri pelancong.
Hayun, pengelola penginapan di Pulau Sebesi, Lampung Selatan,  mengatakan, mayoritas wisatawan, utamanya wisatawan asing, yang  berkunjung ke tempatnya mengaku tertantang melihat Anak Krakatau saat  aktif dari dekat. Mereka tak cukup melihat semburan lava pijar dari  kawah Anak Krakatau pada malam hari yang bisa dilihat dari Pulau Sebesi  atau kompleks Kepulauan Krakatau.
Padahal, Krakatau sebenarnya tidak hanya keindahan letusan dan  riwayatnya yang seram. Di Krakatau, pelancong tidak hanya bisa  bertualang dan berkesempatan menyaksikan letusan saat-saat Krakatau  memuntahkan isi perutnya, tetapi juga dapat menikmati flora dan fauna  yang hidup di kepulauan itu.
Terlebih lagi, gugusan Kepulauan Krakatau yang luasnya 13.605 hektar ini  masuk ke dalam kawasan cagar alam dan ditetapkan UNESCO sebagai warisan  dunia (1991) dan merupakan laboratorium alam bagi teori suksesi.
Di Krakatau, pelancong bisa belajar bagaimana kehidupan tumbuh  berkembang di daratan yang pernah steril dari kehidupan. Pelaku wisata  dan pemerintah semestinya bisa cerdas menangkap peluang yang belum  banyak tergarap ini.
Sabtu, 31 Desember 2011
Keindahan yang Berbahaya di Pulau Rakata
Label:
Amazing
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini