Pengamen dan pengemis anak bukan  pemandangan baru di Jakarta. Ada yang merasa kasihan dan prihatin, tak  sedikit juga yang sinis dan tak peduli. Namun, tahukah Anda bagaimana  kehidupan anak jalanan sesungguhnya? Andes Lukman dan Ajeng Pinto  menelusurinya dengan terjun langsung di antara mereka. 
 Siang itu daerah perempatan  Jatinegara, Jakarta Timur, panas terik. Tampak seorang anak lelaki  berusia 8 tahun tengah asyik menyanyi sambil menepuk-nepuk tangan di  sisi sebuah mobil. Tak jelas syair lagu apa yang keluar dari mulutnya.  Setelah bernyanyi beberapa bait, tangannya menadah pertanda meminta  uang. Dengan muka memelas ia berkata, “Buat makan dan sekolah, Bu. Minta  uang,” begitu katanya singkat.
 Pemandangan seperti ini pasti sering  Anda jumpai di sudut kota besar, terutama Jakarta. Tak peduli hujan atau  panas, anak-anak ini tetap meminta uang di jalanan. Timbul  pertanyaan, siapa mereka sebenarnya? Ke mana orang tua yang seharusnya  bertanggung jawab atas anak-anak ini?
 Penasaran dengan hal ini,  beberapa waktu lalu kami menelusuri kehidupan pengemis dan pengamen  anak-anak di sekitar Prumpung, Jakarta Timur. Untuk masuk ke dalam  kelompok ini, Sekar harus melakukan pendekatan dengan keluarga mereka  terlebih dulu. Tidak mudah, sebab anak-anak ini benar-benar tertutup  dengan orang baru. Baru tanyakan soal tempat tinggal saja, anak-anak ini  langsung mengernyitkan dahi. “Ada apa? Mau apa? Kenapa tanya-tanya?”  cecar mereka.
 Bagi anak-anak ini, tempat  tinggal adalah suatu hal yang yang sangat dijaga kerahasiaannya.  Pasalnya, bila sudah banyak yang mengetahui tempat tinggal, pastilah  banyak orang yang akan berkunjung. “Orang” yang dimaksud di sini  bukanlah orang biasa, melainkan institusi, lembaga pemerintah, hingga  LSM, yang sering menjaring anak-anak dan orang tua mereka agar tak turun  ke jalan lagi. Inilah yang ingin dihindari para pengamen dan pengemis  jalanan.
 Agar bisa berkenalan dan  diterima, Sekar harus mencopot identitas wartawan. Hari pertama  berkenalan dengan anak-anak ini, kami terkejut karena ternyata sebagian  dari mereka mempunyai telepon selular atau ponsel. Ketika kami  menanyakan nomor HP, spontan anak-anak itu menjawab, “Kosong  delapan…kapan-kapan kita ke Dufan.” Begitu canda mereka sambil mencibir,  menggambarkan keengganan menyebut nomor.
 WAJIB MENGEMIS & MENGAMEN
 Seperti yang mungkin sudah  diduga banyak orang, para pengemis dan pengamen anak ini sudah melupakan  pendidikan. Sebenarnya ada kesempatan untuk sekolah, tapi kemauan  mereka yang sudah lenyap. Ketua LSM (lembaga swadaya masyarakat) SWARA,  Endang Mintarja, yang bergiat untuk anak-anak jalanan di sekitar Jakarta  Timur menyebut kondisi ini sebagai titik “aman” orang tua.
 Maksudnya, orang tua memang  sengaja membiarkan anak-anaknya mengemis dan mengamen di jalanan.  “Kenapa dibiarkan? Karena mereka juga mengambil keuntungan dari situ,”  katanya. Lalu mengenai pendidikan, beberapa tahun ke belakang Endang dan  beberapa timnya memberikan kesempatan kepada anak-anak ini untuk  sekolah. Masalah biaya SWARA akan berusaha membantu.
 Namun kenyataannya tak banyak  orang tua dan anak-anak yang tertarik dengan program ini. Mereka lebih  senang di jalanan ketimbang harus duduk dan belajar di sekolah. Endang  bahkan sudah mengalokasikan uang bagi anak-anak yang mau belajar.  Misalnya, setiap hari Jumat dan Sabtu SWARA mengundang anak-anak  jalanan untuk belajar di kantor SWARA di bilangan Prumpung. Bagi anak  yang hadir akan diberikan uang sebesar Rp10 ribu. “Uang itu  hitung-hitung sebagai ganti rugi mereka mengamen dan mengemis,”  tuturnya.
 Ternyata cara ini pun tidak  lantas membuat anak-anak tertarik untuk belajar. Ketika Sekar mengikuti  kegiatan belajar ini, mayoritas dari mereka malah asyik bersenda-gurau.  Misalnya ketika salah seorang guru menjelaskan tentang fungsi RW (rukun  warga), tiba-tiba seorang anak langsung berteriak, “Rukun Warga tidak  ada fungsinya karena masyarakat selalu berkelahi.” Jawaban itu langsung  diikuti gelak tawa teman-temannya.
 Begitu pula ketika mereka  disuruh membacakan Pancasila. Seorang anak dengan cepat langsung  mengacungkan tangannya dan berdiri di antara anak-anak lainnya.  “Pancasila! Satu, Ketuhanan yang Maha Esa. Dua, mari mengamen  sama-sama,” kata anak itu sambil tertawa terbahak-bahak. Tak ayal sang  guru hanya menggeleng-gelengkan kepala. Anak-anak itu benar-benar liar  dan susah diatur.
 Dari 105 jumlah anak-anak  jalanan di sekitar Prumpung, hanya setengahnya yang mau ikut belajar.  Itu pun mereka harus dipaksa dan diming-imingi uang. Melalui program  belajar inilah kami bisa berkenalan dengan F, gadis berusia 13 tahun. Di  usia setua itu F masih duduk di bangku kelas 3 SD. Terkadang ia malu  dengan teman-temannya yang lain karena badannya paling besar. “Harusnya  kan saya sudah SMP,” katanya sedih.
 Keinginan F untuk belajar tidak  datang secara tiba-tiba. Sebelumnya beberapa kali ia ditawari oleh tim  dari SWARA untuk mendaftar sekolah, tapi tidak mau. Ia memilih untuk  terus mengamen di jalanan. F tinggal di sebuah rumah petak di sekitar  Prumpung bersama kedua orang tua dan tiga adiknya. Ayah dan ibunya  adalah pedagang asongan di sekitar Jatinegara. Barang yang dijual  bermacam-macam, mulai dari rokok, minuman, atau apa saja. Yang penting  laku dijual.
 Pendapatan bersih rata-rata  kedua orang tua F hanya Rp20 ribu sehari. Uang itu harus digunakan untuk  membayar sewa rumah petak seharga Rp200 ribu per bulan. Rumah itu jauh  dari kesan nyaman. Ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 meter itu  digunakan untuk tidur, masak, dan tempat berkumpul. Kamar mandinya  berukuran 1 x 1 meter, namun pintu untuk menutup kamar mandi hanya papan  tripleks yang disandarkan. Bila akan menggunakan kamar mandi, kayu  tripleks harus diangkat untuk menutup pintu. Jika sewaktu-waktu angin  kencang bertiup, papan tripleks bisa terjatuh. Itu belum seberapa. Bila  salah satu anggota keluarga F sedang buang air besar, baunya akan  “terbang” ke sekeliling ruangan.
 Sebagian besar pendapatan kedua  orang tua F dari berjualan di pinggir jalan habis untuk membayar  kontrakan ala kadarnya ini. Uang yang tersisa mereka pergunakan untuk  makan sehari-hari. Tentu saja tidak cukup. Itulah alasan sang ibu  menyuruh F mencari uang di jalanan. Caranya? Ya, terserah. Mau mengamen  atau mengemis, sang ibu tidak akan keberatan.
 Malah ketika F berusia 3 tahun,  sang ibu sudah membawanya berjualan di pinggir jalan sambil  digendong-gendong. Tak peduli debu, terik matahari, dan hujan. Ketika  sudah berusia 7 tahun, barulah F disuruh mencari uang sendiri. Setiap  hari anak ini bisa mengantongi uang Rp10 ribu sampai Rp20 ribu dari  mengamen dan mengemis. Untuk mengamen tak diperlukan keahlian apa pun.  Cukup menyanyi dan bertepuk tangan, jadilah sebuah nyanyian. “Tak perlu  merdu, yang penting memelas,” kata F sambil tersenyum. Uang yang ia  dapat sebagian diberikan kepada orang tua. Sedangkan sebagian lagi  digunakan untuk membeli aksesori, seperti gelang dan kalung.
 KORBAN KEKERASAN & PELECEHAN SEKSUAL
 Kedua orang tua F tak pernah  menghiraukan keberadaan anaknya. Yang mereka tahu, bila tidak pulang ke  rumah berarti anak ini tidur di pinggir jalan. Pergaulan F pun terbilang  luar biasa. Di usia semuda itu ia sudah sering berganti-ganti pacar.  Bahkan meraba-raba badan pasangan menjadi hal yang biasa baginya. Kami  sempat melihat komunikasi anak ini dengan pacarnya. Bila sang pacar  meledek F, anak ini tak segan-segan menempeleng kepala sang pacar.  Begitu pula sebaliknya. Sang pacar sering menjambak rambut F. Menurut F,  orang tuanya memang sering tak peduli pada anak. Ketidakpedulian mereka  bahkan telah merenggut nyawa dua orang adiknya. Peristiwanya bermula  ketika sang ibu sering membawa adik F yang nomor dua berjulalan di  pinggir jalan. Alasannya klise, di rumah tidak ada yang menjaga sang  anak.
 Suatu hari dada si anak sesak  dan sulit bernapas. Ketika dibawa ke rumah sakit, si anak dinyatakan  mengalami gangguan pernapasan akut dan sulit disembuhkan. Penyebab  utamanya adalah polusi karena terlalu sering mengisap debu dan asap  knalpot. Nyawa si anak tak bisa tertolong dan F pun kehilangan satu  adiknya. Bukannya kapok, sang ibu kembali membawa anak berjualan di  pinggir jalan. Kali ini yang dibawa adalah anak ketiganya. Hanya selang  satu tahun, anak ini juga meninggal. Namun sang ibu selalu mengelak  kalau anaknya itu meninggal karena gangguan pernapasan akibat polusi.  Menurutnya, kedua anaknya itu meninggal akibat salah minum obat.
 Tak jauh berbeda dengan  kehidupan F, Aris (bukan nama sebenarnya) juga harus mencari uang di  jalanan. Padahal sang ayah, M masih mampu mencarikan biaya untuk anak  laki-laki berusia 8 tahun ini. M adalah penjual kerupuk keliling di  sekitar Jakarta Timur. Penghasilannya per hari kurang lebih Rp50 ribu.  Artinya dalam sebulan M bisa mengantongi penghasilan kurang lebih Rp1,5  juta per bulan. Kondisi keuangan yang cukup baik ini tidak lantas  membuat Aris senang. Ia sama seperti anak-anak yang lain, wajib mengemis  di jalanan. Bukan semata-mata karena butuh, tapi karena disuruh orang  tua. Setiap hari, dari pagi sampai malam, ia harus mengemis di sekitar  Jakarta Timur. Bila sekali saja tidak mencari uang, ayahnya akan  memukuli Aris. Akibat terlalu sering dipukul oleh sang ayah, telinga  sebelah kanannya tidak bisa berfungsi lagi. Sangat menyedihkan.
 Sifat kasar sang ayah mulai  muncul sejak Aris berusia 4 tahun. Saat itu M bercerai dengan istrinya  gara-gara sang istri berselingkuh. Ia marah dan kesal. Semua emosi itu  ia lampiaskan kepada Aris. Saat marah ia bisa berubah seperti orang  kesurupan. Semua benda yang ada di sampingnya hancur berantakan. Pernah  suatu ketika M tengah makan nasi hangat. Aris yang tengah bangun tidur  tiba-tiba menangis. Berulang kali M menyuruh anak itu untuk diam tapi  tak bisa. Aris malah semakin kencang menangis. Kesal mendengar hal itu, M  pun melempar piring beserta nasi hangat itu ke pipi Aris. Anak itu pun  pingsan dan pipinya melepuh.
 Saat M menceritakan peristiwa  ini, M menyuruh Aris menunjukkan bekas-bekas luka itu. Anehnya, M malah  bangga karena telah berhasil membuat anak satu-satunya itu takut  kepadanya. Sambil tertawa terbahak-bahak, M mempertontonkan kepada kami  luka anaknya itu. Tak hanya kekerasan fisik, M juga sering mengajak  anaknya ini ke tempat prostitusi di daerah Jatinegara.
 Di tempat maksiat itu, Aris  disuruh menunggu di luar, sementara M asyik berhubungan intim dengan  wanita lain di dalam tenda. “Saya mau mengajar anak ini untuk berani,”  begitu alasan M saat mengajak anaknya datang ke tempat prostitusi. Tak  jauh berbeda dengan cerita Aris, lelaki bernama R juga menjadi korban  kekerasan. Bedanya R adalah korban kekerasan seksual. Semenjak dibuang  oleh orang tuanya, R harus berjuang menyambung hidup di jalan. Semenjak  usia 7 tahun ia sudah mengemis di jalan. Namun sayang, ada orang-orang  usil kepada anak ini.
 Setiap hari ia selalu menjadi  pelampiasan nafsu laki-laki bejat. Ia juga beberapa kali pernah (maaf)  disodomi. Kini R berperilaku seperti perempuan. Di usianya yang baru 13  tahun, R sering dipanggil banci oleh orang-orang sekitarnya. Kepalang  basah, akhirnya R pun menganggap dirinya sebagai perempuan. Setiap hari  ia selalu memakai celana yang berukuran pas dengan kaki. Rambutnya  panjang sebahu. Tak lupa ia juga acap memakai bedak dan lipstik.
 Begitulah penampilan R saat  turun ke jalan untuk mengemis dan mengamen. Diam-diam seorang induk  semang pelacur memperhatikan tingkah laku R ini. Suatu hari ia diculik  dan dibawa ke satu tempat. Di ruangan berukuran 3 x 3 meter sudah  menunggu seorang laki-laki berbadan tegap. R kaget dan tak tahu harus  berbuat apa. Laki-laki itu memaksa anak ini melayani dirinya. Baru  selesai laki-laki pertama, masuk lelaki kedua. Setelah itu masuk lagi  yang ketiga, keempat, hingga ketujuh. R diancam. Kalau tidak mau  melayani ketujuh lelaki itu, ia akan disiksa. Akhirnya anak ini pasrah  dan menerima saja. Kondisi mengenaskan ini bukan cerita fiksi atau  karangan. Inilah realita yang terjadi pada sebagian pengamen dan  pengemis anak di ibu kota.
 Rencananya, untuk mengurangi  anak-anak jalanan seperti cerita di atas, para LSM akan bahu-membahu  dengan pemerintah agar jumlah mereka berkurang. Targetnya, menurut  Endang, pada tahun 2014 sudah tidak ada lagi anak-anak jalanan di ibu  kota. “Semua orang harus mendukung program ini. Minimal sadarkan kepada  mereka bahwa jalanan bukanlah dunia untuk anak-anak. Mereka berhak  mendapat kehidupan yang lebih baik. Mereka berhak bermain dan bukan  disiksa atau dipaksa mencari uang di jalanan,” tutupnya tegas.

 
 
0 komentar:
Silahkan Tinggalkan Komentar anda disini