Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah  perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis  Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya,  Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak  bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando  Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan  Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri”  tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965  adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang  diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.
Memperingati  tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi  khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi  tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat  minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Potongannya seperti preman
Tempo  berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu  saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun.  Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota  Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia  tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri.  Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari  membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan  trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang  tua Suhardi.
“Dia  memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi.  Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus.  Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering  menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi  badannya gempal.
“Potongannya  seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan  gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa.  Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum.  Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho.  “Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan  yang ke arah Sriwedari.”
Setelah  Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang  markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah  Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis  Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat  gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash  yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran  terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri  bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian  masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan  Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan  Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal Untung dan  Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan  Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui,  Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima  Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang.  Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di  Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan  perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan  Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad  mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung  terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu  Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal  dengan Banteng Raiders.
Di  Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan  belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman  di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan  pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera  Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny  Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden  Soekarno.
“Kedua  prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani  dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil  Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Sebab,  menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui  banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti  Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
“Mengapa  perhatian Soeharto terhadap Untung begitu  besar?” Menurut Maulwi,  tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari  Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
Bila  kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar  Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan  Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal  di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan  kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno   di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir   terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada   satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara,   Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan  hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi  sendiri. Pada 29  September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu  gerbang Istana.  Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief,  peleton di bawah  Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana.  Menurut Suhardi,  tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena  tugasnya adalah di  ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur  dia.”
Pada  1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya   heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia   langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah   Abang.
“Saya  ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,”  kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang  semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu  tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi,  Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang  sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat  sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang  menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu  sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya.
Kepada  Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap  para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah  kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada  mereka,” jawab Untung.
Heru  Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang  namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam  Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan  itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja  bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung,  Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat  justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu,  sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto,  kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life  and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang  kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu  bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.
“Itu  tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan  dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di  belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Demikianlah  Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang  Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal  diselamatkan.
Sumberabout Cyber Information  http://aboutcyberinformation.blogspot.com/
 
